kisah pengusaha sukses
Lika-Liku Tris Tanoto Besarkan Bisnis Ikan Arwana
Kesuksesan merupakan buah dari kerja keras. Tapi sukses pun tak terlepas dari faktor keberuntungan – atau hoki dalam bahasa kalangan Tionghoa. Itulah yang diyakini Tris Tanoto, wirausaha sukses di bidang penangkaran dan ekspor arwana merah. Tris Tanoto, pemilik PT Munjul Prima Utama (MPU), dikenal sebagai pengusaha sukses di bisnis ikan arwana dan salah satu pemain besar di bisnisnya. Semua produknya untuk ekspor (100%). Kebanyakan pembelinya datang dari Jepang, Taiwan, Cina, Thailand, Singapura dan Korea. Dengan kerja keras, terus mendalami bisnisnya dan tekun, ia bisa bertahan di bisnis ikan yang dibatasi banyak aturan itu,
Perjalanan
usaha Tris mengembangkan bisnis arwana melalui PT Munjul Prima Utama (MPU),
bermula dari sebuah kebetulan. Kisahnya berawal pada 1985, ketika Tris berusia
36 tahun. “Sampai dengan usia 35 tahun saya masih miskin,” ungkapnya kepada SWA
yang bertandang ke kolam penangkaran arwananya di kawasan Munjul, Jakarta
Timur.
Kala itu,
seorang teman Tris yang sehari-hari berdagang ikan arwana datang kepadanya, dan
setengah memaksa menawarkan ikan-ikan arwananya lantaran butuh uang. Jumlah
ikan arwana yang ditawarkan 400 ekor. Tak enak menolak permintaan sang teman,
Tris pun membelinya. “Saya sendiri nggak tahu mau saya apakan arwana-arwana
itu. Sebab, niatnya cuma mau bantu teman,” ucap Kris mengenang seraya mengakui
bahwa saat itu ia sama sekali tak punya pengalaman memelihara arwana. Waktu itu
ikan arwana yang masih kecil (panjang 12 cm) di Jakarta dihargai sekitar Rp 250
ribu per ekor. Biasanya pedagang membeli dari Kalimantan seharga Rp 150-175
ribu. Selain berniat membantu, yang membuat Tris berani mengambil risiko adalah
karena ia sudah mendengar dari kawan-kawannya bahwa usaha ikan arwana bisa
menghasilkan untung cepat.
Ketika itu
Tris baru menikah sehingga punya lebih banyak waktu di rumah. “Maklum, sebelumnya
saya suka keluyuran ke mana-mana,” katanya sambil terkekeh. Untungnya lagi,
dalam pemeliharaannya, dari 400 ekor ikan tadi tak ada satu pun yang mati.
Dalam sebuah
acara reuni dengan teman-teman SMP-nya, ada seorang temannya yang dikenal jago
fengshui menyebutkan bahwa peruntungan Tris di bisnis yang terkait dengan air.
“Coba deh kamu cari usaha air minum kaya Aqua atau pabrik es. Jangan buka usaha
yang lain seperti restoran!” ucap Tris menirukan nasihat temannya. Tris tak
menceritakan bahwa ia punya kesibukan dengan arwana. Penasaran dengan ramalan
itu, ia bertekad menyeriusinya. “Siapa tahu cocok dengan ramalan teman itu,”
ujar pria berbadan tegap yang tak sempat mengenyam pendidikan di bangku kuliah
ini.
Dua bulan
berselang, masih di tahun 1986, bisnis ikan arwana meledak. Tiba-tiba teman
yang dulu menawarkan ikan arwana datang lagi dan berniat membeli kembali.
Bahkan, sang teman bersedia membeli ikan-ikan itu dengan harga US$ 1.500 per
ekor (kurs saat itu setara dengan sekitar Rp 2,6 juta per ekor). “Saya sempat
kaget dengan tawaran itu, karena baru memelihara tiga bulan kok naiknya sudah
berlipat-lipat,” katanya. Namun, Tris tidak serta-merta menerimanya, lantaran
ia juga sudah merasakannya sebagai hobi. “Saya bertahan meski berkali-kali ditawar,”
ceritanya mengenang. Dan, hingga kemudian hatinya terbujuk jua manakala sang
kawan menawar dengan harga US$ 4 ribu per ekor atau total sekitar US$ 1,6 juta.
“Saya kaget. Karena ia memang betul-betul punya uang, maka langsung saya jual,”
tutur Tris yang kala itu langsung kaya mendadak. “Hari itu juga saya membeli
tanah ini untuk dijadikan kolam penangkaran,” tambahnya.
Keberuntungan
yang dramatis itu membuat Tris makin serius menggeluti bisnis arwana. Ia lalu
mengembangkan tanahnya yang seluas 3 ribu m2 di Munjul Cipayung, Jakarta Timur
itu sebagai kolam pemeliharaan dan penangkaran. Hasil penjualan 400 ikannya
juga dipakai untuk membeli lagi ikan-ikan arwana dari para pemilik perorangan
di seputar Jakarta. Rata-rata harganya Rp 750 ribu per ekor. “Ikan-ikan itu
saya ceburkan saja di sini dan saya suruh orang untuk mengurus. Alamnya
sebisanya dibuat seperti di Kalimantan. Tiap akhir bulan, saya datang untuk
memberi gaji karyawan dan beras,” Tris menuturkan.
Di tahun
1988 Tris terkejut, dari kolamnya terlihat ikan-ikan kecil yang setelah diamati
ternyata anak-anak arwana yang telah menetas dari telur para induk yang
diceburkan dua tahun sebelumnya. “Wah, itu hari yang bersejarah, Pak. Hati saya
seumur-umur paling senang ya hari itu,” ungkap Tris. Keterkejutan Tris
beralasan, mengingat menangkar ikan langka ini di Jakarta sangat susah lantaran
ketidaksesuaian dengan iklim dan kondisi airnya. “Saking senangnya, siapa saja
yang mau lihat saya perbolehkan,” imbuhnya.
Setelah tahu
di kolamnya arwana bisa membiak, Tris makin terpacu memperluas kolam arwananya.
Lahan-lahan di sekitarnya pun ia beli, hingga seluas 1 hektare. Masalah baru
menghadangnya ketika ia mulai mengurus perizinan (legalitas), khususnya izin
penangkaran dan ekspor arwana. Ia mulai mengurus izin penangkaran tahun 1988,
tetapi tak kunjung dikabulkan pemerintah. Alasannya, arwana tidak bisa
ditangkarkan di luar habitatnya. Ini mengherankan, sebab kenyataannya
ikan-ikannya bisa berbiak. Bahkan, kalangan media cetak dan televisi sudah
memberitakan. Beberapa pejabat juga sudah datang membuktikan. Setelah melalui
usaha tak kenal putus asa, izin penangkaran baru diperolehnya tahun 1991.
Permintaan izin ekspor yang sudah disodorkannya dari tahun 1987 malah lebih
alot, karena baru keluar tahun 1996.
Tak bisa
dipungkiri, saat itu dunia bisnis di Tanah Air memang masih dimonopoli oleh
kalangan yang dekat dengan penguasa (kroni). Tris tahu ketika itu satu-satunya
perusahaan yang bisa mengekspor adalah perusahaan yang sahamnya dimiliki
seorang pejabat penting – ia sendiri tidak menyebutkan jati diri perusahaan dan
pejabat itu.
Ketika izin
ekspornya belum keluar, Tris mengakui beratnya bisnis yang harus dia jalankan.
Pasalnya, ketika ikan-ikannya sudah bisa berkembang biak dengan baik, ia tak
bisa memasarkannya ke luar negeri.
Hingga izin
ekspor belum keluar – berarti hanya boleh menjual di dalam negeri – bisa
dibayangkan betapa Tris megap-megap dalam menjalankan usaha. “Waktu itu per
tahun bisa berbiak 1.500 ekor padahal indukannya cuma 94 ekor,” paparnya.
Otomatis, Tris menanggung biaya pemeliharaan makin besar – untuk biaya listrik,
pakan, tenaga kerja, dan lain-lain. Karena jumlah ikan makin banyak, otomatis
ia juga harus menambah luas lahan. “Beban usaha saya makin besar. Padahal,
usaha yang lain sudah saya jual,” Tris mengenang pengalaman pahitnya.
Perjuangan
untuk memperoleh izin ekspor dilakukannya dengan berbagai cara, termasuk aktif
melakukan aktivitas public relations. Beberapa kali ia mengundang pehobi
arwana, pejabat dan kalangan media massa, untuk membuktikan bahwa
penangkarannya memang berhasil dengan baik. Tak heran, cukup banyak orang
penting dan orang asing yang datang mengunjungi kolam arwana Tris di Munjul.
Bahkan, di tahun 1994 PT Munjul dijadikan pilot project penangkaran arwana yang
dikunjungi Pangeran Akisino dari Jepang. Nama Munjul Prima Utama pun makin
berkibar. Bahkan, lembaga dunia di bawah PBB yang bertugas mengurus satwa
langka, CITES, pernah datang pula ke lahan penangkarannya. Di saat itulah Tris
mengajukan protes ke CITES kenapa dirinya tidak diperbolehkan melakukan ekspor
sementara ada perusahaan lain yang diperbolehkan.
Petugas
CITES itu tersentak mendengar protes Tris karena sebelumnya CITES mengira yang
selama ini melakukan ekspor arwana dari Indonesia adalah organisasi pemerintah.
Berkat pelaporan ini, akhirnya izin ekspor untuk MPU keluar juga pada 1996.
Sejak itu, Tris pun leluasa mengekspor arwana. Apalagi, MPU pun telah diakui
CITES dengan nomor registrasi A-ID-505. Saat itu jumlah ikan indukannya telah
mencapai sekitar 2 ribu ekor.
Begitu
mendapatkan izin ekspor, Tris langsung melakukan pembenahan internal. Ia
menyortir kembali seluruh ikan tangkarannya. Yang terbagus dipilih untuk
dijadikan induk. Ia meyakini dari stok induk (parent stock) arwana hanya
terdapat 10%-15% yang bagus. “Yang terbaik saya ambil untuk induk. Lainnya saya
jual murah, Rp 1 juta per ekor,” ujarnya. Praktis sejak itu strategi yang
dilakukan Tris ialah pemuliaan jenis, yakni dengan mengawinkan induk-induk
terbaik. Strategi inilah yang membedakan dari para penangkar lain di Indonesia
– yang kini jumlahnya sekitar 200 pemain.
Dari
kelompok indukan kelas satu itu (disebut generasi F1), setelah dikawinkan
menghasilkan generasi F2 yang diperkirakan 75% turunannya berkualitas bagus.
Dari 75% itu lalu dikawinkan lagi untuk menghasilkan generasi F3 yang
diperkirakan 90% anaknya bagus. “Begitu seterusnya sampai F4, hampir 100%
bagus. Sekarang ini saya sudah sampai F5,” ujar Tris seraya menunjuk pada
deretan akuarium yang berisi anak-anak ikan arwana generasi F5. “Bisnis dan
kerja saya ini pemuliaan jenis. Seperti emas, yang dilakukan ialah memurnikan
emas-emas itu dari unsur-unsur lain sehingga benar-benar merupakan emas murni,”
Tris menganalogikan.
Strategi
pemuliaan jenis yang dilakukan Tris secara ketat ini tak lepas dari strategi
bisnisnya yang memang hanya menyediakan arwana kualitas premium. Ia hanya
menjual ikan-ikan arwana merah super (super-red) yang benar-benar unggulan dan
langka, tak seperti umumnya para penangkar dari Kalimantan atau Sumatera. Ini
juga terlihat dari harga per ekor arwana yang dijualnya. Sekarang, harga
rata-rata arwana merah dengan panjang sekitar 30 cm di Jakarta Rp 3 juta per
ekor (di Kalimantan harganya cuma Rp 1-1,5 juta); sedangkan ikan-ikan hasil
budi daya MPU dijual per ekor US$ 2 ribu (sekitar Rp 18 juta). “Ikan saya
harganya lima kali lipat harga ikan mereka, Pak,” kata Tris mengakui. Karena
yakin atas kualitas arwana hasil penangkarannya, Tris terlihat tak khawatir
pelanggannya bakal lari walaupun menerapkan pricing secara premium.
Strategi
menggarap segmen premium dengan pemuliaan jenis ini, menurut Tris, merupakan
satu-satunya jalan baginya untuk bisa bersaing dengan para pemasok ikan arwana
dari Kalimantan. “Kalau saya jualan dengan kualitas biasa, dengan harga murah
seperti mereka, saya sudah kalah dan bangkrut dari kemarin,” ungkapnya. Tentu
saja Tris punya dasar kuat, terutama karena ia berupaya menghasilkan ikan
unggulan. “Segala jenis binatang, apa pun jenisnya, semakin mulia atau murni
dan harganya tinggi, maka keturunannya akan semakin sedikit,” tutur Tris yang
mempekerjakan 50 karyawan untuk mengurus kolam arwananya.
Air yang
berlimpah di Kalimantan dan harga lahannya yang cuma Rp 5 ribu per m2, lanjut
Tris, merupakan keuntungan bagi penangkar arwana di Kalimantan. Adapun di
Munjul, harga tanahnya per m2 sudah Rp 700 ribu, dan biaya pengadaan air (lewat
proses daur ulang) juga tak murah. Karena itulah, Tris memilih menangkap segmen
paling atas agar biaya produksinya bisa terkejar dengan model penangkaran di
Jakarta yang serba mahal.
Sekarang,
pria yang tinggal di kawasan Pluit ini memiliki 600 ekor indukan arwana.
Biasanya, arwana yang masih remaja (umur 9 tahun) per tahun bisa menghasilkan
anak (lewat cara bertelur) tiga-empat kali. Sementara yang usianya sudah 30
tahun, menghasilkan anakan setelah 2-3 tahun sekali. Ikan arwana ini,
dijelaskan Tris, sebenarnya bisa berproduksi hingga usia 35 tahun, asalkan kita
mengetahui cara perawatannya.
Tris membeberkan
sebagian kiat budi dayanya. Selama ini, setiap 10% dari hasil anakan selalu
disisihkannya untuk dijadikan calon indukan di kemudian hari. Menurutnya,
arwana merah (arowana super-red) dibagi dua, yakni jenis sintetik dan otentik.
Yang dimaksud jenis sintetik, dalam pengembangannya menggunakan obat-obatan
untuk memperindah kondisi ikan; sedangkan jenis otentik, kualitas aslinya
memang sudah bagus secara alami. Tris sendiri cenderung mengembangkan pola
kedua. “Emas walaupun dibuang ke lumpur tetap saja emas, tidak berubah.
Demikian juga arwana super-red yang mempunyai genetik murni, jika memang
dasarnya merah ditaruh di akuarium mana pun pasti tetap kelihatan merah,” ia
menegaskan. Walaupun masih berumur muda dan cuma berukuran 20-25 cm, menurut Tris,
kalau memang ikan itu berkualitas bagus, sudah kelihatan kualitasnya.
Tris
biasanya menjual ikan dengan ukuran panjang 15-35 cm. Ia memberi merek
ikan-ikan hasil budi dayanya dengan nama ultrared. Awalnya semua penangkar
mengirim arwana merah dengan sebutan super-red. Beberapa lama kemudian orang
Jepang melihat arwana super-red keluaran MPU kelihatan lebih merah dibanding
yang lain, sehingga orang Jepang menyarankan memberinya nama ultrared. Ciri
khas arwana ultrared, yakni memiliki warna merah darah dan warna ring tebal
(thick scales hampir 90% tertutup warna merah). Warna merahnya bisa menutupi
semua bagian muka arwana dan ekor yang mekar seperti bunga hong hua (bunga
merah).
Mengenai
pemasaran ikan hasil penangkarannya, selama ini Tris sengaja menyasarkan semua
produknya untuk ekspor (100%). Jadi ia memang tak melayani pembeli domestik.
Biasanya ia melayani order minimum 50 ekor, dan pembayarannya dilakukan penuh
sebelum pengiriman. Kebanyakan pembeli datang dari Jepang, Taiwan, Cina,
Thailand, Singapura dan Korea. Hanya saja, dalam setahun terakhir ia lebih
banyak melayani pembeli dari Cina, sebab di Negeri Tirai Bambu ini sekarang
banyak orang kaya baru. “Kalau pemasaran, saya tidak pernah cari. Mereka yang
cari saya dan datang ke sini. Jadi, untuk urusan buyer saya tidak pernah
kesulitan,” ujar pengendara Mitsubishi Pajero ini.
Tampaknya
ucapan Tris bukan omong besar belaka. Dari penelusuran SWA secara online ke
beberapa situs penggemar arwana dunia termasuk di Jepang, tampak sekali nama PT
Munjul Prima Utama sudah sangat dikenal. Alvin Koh, direktur pengelola situs
para pehobi arwana yang ternama di dunia, www.arofanatics.com, menyebut PT
Munjul Prima Utama sebagai “One of the most well-known farms among the Japanese
arowana hobbyists and famous for the outstanding coloration of their red
arowanas.” Nama Munjul pun sudah cukup tersohor di kalangan penggemar arwana di
Cina dan Korea.
Saat ini,
sebenarnya yang dirasakan Tris sebagai kendala adalah masalah keterbatasan
produksi. Tris mengaku tak sulit memasarkan berapa ekor pun arwana. Jumlah
penjualannya sejauh ini tergantung pada berapa banyak produksinya, bisa ribuan,
bisa hanya ratusan per tahun. Tahun lalu misalnya, angka produksinya turun,
yakni hanya beberapa ratus ekor ikan setahun lantaran cuaca tidak mendukung.
Mengenai
budi daya arwana ini memang tak lepas dari masalah kualitas air. “Dalam
menangkarkan arwana yang terpenting adalah menjaga kondisi air, sedangkan hal
lain relatif tak sulit,” papar Tris seraya menjelaskan air kolam harus terus
diganti tiap hari. Tris mengaku sempat masygul karena kolam pertamanya yang
berlokasi di Jl. Raya Hankam Munjul sudah tak bisa dipakai lagi lantaran airnya
mulai tercemar dengan air lingkungan sekitarnya. Ini cukup memusingkannya,
sebab sejak dari awal ia menerapkan kebijakan tidak akan membeli ikan dari
penangkaran lain untuk diekspor. Namun, ada hal yang membuat Tris kini bisa
bernapas lega lagi. Kolam ikannya yang baru, yang 6 kali lebih luas (6 ha) di
Pondok Rangon – tak jauh dari Munjul
sudah bisa dipakai.
Penulis: Sudarmadi (darmavisi@gmail.com)
Penulis: Sudarmadi (darmavisi@gmail.com)
Komentar
Posting Komentar